Masyarakat Indonesia dikenal berperilaku sopan-santun, ramah-tamah dan saling menghargai. Namun hal ini berbeda dengan perlaku masyarakat Indonesia saat bermedia sosial. Ulah warganet Indonesia dalam melempar atau menanggapi satu isu di media sosial seringkali emosional dan bersifat personal.
Praktisi media sosial, Lintang Ratri, mengatakan respon warganet Indonesia yang menghujani komentar akun medsos tertentu dengan cara negatif, tidak sopan, cercaan, adalah bentuk masih rendahnya etika dalam bermedia sosial.
“Di Tiktok kan ada lagu viral welcome to Indonesia, welcome to Nastyzen. Bukan netizen loh. Nastyzen kan berarti nasty, nakal. Netizen kita itu sangat nakal sehingga bahkan saat disentil Microsoft soal kesopanan, netizen kita lebih galak, lebih ganas,” kata Lintang dikutip dari VOA Indonesia.
Bahkan Lintang menyebut, warga Indonesia di dunia maya memiliki “prestasi” sebagai rangking 1 soal tidak sopan di media sosial dan juga cyber bullying. Oleh karena itu literasi digital menjadi kunci penting menyadarkan warganet dalam menggunakan media sosial.
“Adanya internet, media sosial itu tools, alat. Semua tergantung pada manusia yang menggunakannya, makna bisa berbeda. Mau digunakan untuk hal negatif ya akan buruk. Mau jadi positif ya akan lebih bermanfaat,” ujarnya.
Pegiat medsos dari Japelidi Jawa Tengah ini mengatakan, media sosial sebagai salah satu produk internet harus digunakan secara maksimal. Konten media sosial yang mengejar demi viral dengan melakukan cara berbahaya dan tidak etis masih menjadi sorotan.
Prestasi kita bukan cuma rangking 1 soal tidak sopan di media sosial, juga cyber bullying loh
Media sosial memiliki berbagai sudut pandang. Di satu sisi, menjadi sarana entertain atau hiburan. Sisi lain, sumber informasi dan pilar demokrasi serta bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi.
Sementara itu, pakar komunikasi dari Universitas Padjajaran, Eni Maryani, mengatakan masyarakat Indonesia masih belum dapat memilah penggunaan media sosial sebagai ruang publik atau privasi, sehingga etika dalam bermedia sosial pun rendah. Ia menganjurkan untuk tidak menggunakan media sosial saat kondisi personal masih emosional.
“Kalau di dalam kehidupan nyata kan kita tahu ngomong dengan siapa, sahabat, pakai bahasa ini, dengan orang lain, ya pakai bahasa lain lagi. Kita sudah banyak belajar, banyak tahu. Beda dengan di dunia digital, medsos,” ujar Eni.
Ia mencontohkan, saat pengguna berkomentar di akun seorang teman, kemudian terjadi perang kata-kata, maka semua pemilik akun yang bergabung di akun yang bersangkutan akan tahu. Hal ini membuat norma kesopanan di media sosial sudah hilang.
“Ini soal etika di media sosial, orang sering lupa. Etika medis sosial, kalau pribadi ya japri saja yang bersangkutan. Jangan di media sosial. Kalau lagi marah, nggak sadar, emosional, jangan main bermedia sosial dulu,” jelas Eni. [PASS News]